
Di tengah atmosfer hangat dan bersahabat di Historisma Bratang Surabaya, seorang tokoh yang dikenal lantang namun penuh empati, Tri Rismaharini, memberikan ucapan selamat, tapi juga harapan besar untuk masa depan Prodi S-1 Linguistik Indonesia UPN Veteran Jatim (3/7/2025).
Tri Rismaharini, mantan Wali Kota Surabaya (2010–2020) sekaligus Menteri Sosial RI (2020–2024) menyampaikan apresiasinya atas dibukanya program studi S-1 Linguistik Indonesia UPN Veteran Jatim yang dianggapnya sangat strategis di era komunikasi digital dan politik yang semakin dinamis.
“Selamat atas berdirinya Program Studi Linguistik Indonesia di UPN. Mudah-mudahan bisa berkembang lebih baik, bukan hanya di Indonesia tapi juga di luar Indonesia. Kita perlu mengenalkan Bahasa Indonesia ke dunia luar, Bahasa Indonesia bisa lebih dikenal,” ujar Risma dengan nada yang khas.
Baginya, Bahasa Indonesia tak sekadar alat komunikasi. Bahasa adalah jembatan pemahaman, alat diplomasi, dan media transformasi sosial. Di tengah polarisasi dan gesekan yang sering terjadi di ruang publik, kemampuan menggunakan bahasa dengan tepat, sesuai konteks, dan audiens menjadi kunci merajut harmoni.
Di dalam forum diskusi bermakna yang bertempat di Historisma Bratang, bangunan penuh nilai historis di Surabaya, diskusi antara Tri Rismaharini dan Koordinator Program Studi (Korprodi) Linguistik Indonesia UPN Veteran Jatim, Endang Sholihatin, membahas hal-hal mendalam mengenai posisi strategis bahasa dalam dunia politik, birokrasi, dan masyarakat luas.
“Saya ngomong cuman njelaskan dari hati ke hati saja, natural aja,” kata Risma, mengungkap gaya komunikasinya selama menjabat sebagai birokrat. Ia menekankan pentingnya memahami siapa lawan bicara, agar pesan yang disampaikan tidak salah tafsir.
“Saya selalu melihat, ini medan yang saya ajak bicara bagaimana dan saya harus bicara dengan kondisi mereka,” lanjut Risma.
Diskusi ini tidak berlangsung kaku, justru nuansa akrab dan humanis begitu terasa. Endang menyambut baik pandangan Risma. Ia menyetujui bahwa konteks dalam berbahasa sangat penting.
“Iya. Jadi konteks itu penting sekali, dengan siapa, di mana, dan bagaimana bahasa yang kita gunakan harus menyesuaikan,” ujarnya. Hal itu menambahkan dimensi akademik dari praktik yang sudah lama dijalankan oleh sang mantan Menteri Sosial.
Human Interest: Bahasa yang Menyatukan
Kisah Risma adalah potret bagaimana bahasa bisa menjadi alat kekuatan lunak (soft power). Ia pernah mengatasi konflik, membangun kota, dan menyentuh hati masyarakat hanya dengan satu pendekatan yaitu komunikasi yang tulus. Ia bukan politikus yang bermain kata, tapi birokrat yang percaya bahwa bahasa yang benar adalah bahasa yang dirasakan.
Kehadiran Prodi Linguistik Indonesia di UPN Jatim pun diharapkan bisa melahirkan generasi baru yang tidak hanya piawai secara linguistik, tetapi juga peka secara sosial. Mereka kelak menjadi penghubung antara pemerintah dan masyarakat, antarbudaya, bahkan antarbangsa.
Bahasa di Era Komunikasi Digital dan Politik yang Semakin Dinamis
Di tengah derasnya arus globalisasi, sebuah bahasa bisa tenggelam tanpa penguatan akademik dan pemanfaatan strategis. S-1 Linguistik Indonesia hadir menjawab kebutuhan zaman. Tak hanya soal tata bahasa atau kajian teks, tetapi juga bagaimana bahasa digunakan untuk memengaruhi, merangkul, dan memimpin.
Risma menyadari itu. Karena itu ia mendorong agar prodi ini tak hanya jadi ruang kuliah, tapi jadi pusat pengembangan gagasan tentang bagaimana Bahasa Indonesia bisa menjadi alat diplomasi budaya yang diakui dunia.
Harapan dan Masa Depan
Bahasa Indonesia, kata Risma, harus dikenalkan ke dunia. Namun sebelum itu, ia harus dikenali dan dipahami dengan baik oleh bangsanya sendiri melalui Prodi S-1 Linguistik Indonesia.
Bukan tidak mungkin, suatu hari nanti, alumni dari program studi ini akan berdiri di forum internasional, membawa pesan-pesan damai dari Indonesia dengan bahasa yang indah, (damai dan) penuh makna, dan dari hati ke hati.
“Bahasa itu hidup. Ia menyentuh, menggerakkan, bahkan mengubah. Oleh karena itu, berbahasa bukan hanya soal kata tapi soal rasa dan makna,” tutup Endang Sholihatin, menguatkan esensi diskusi hangat dan bermakna yang membekas dalam di benak para peserta.