Cinta dan Romansa di atas Roda

Bus AKAP Pandawa 87 di Rumah Makan Raos Eco, Kec. Gringsing, Kab. Batang, Jawa Tengah. Foto diambil oleh: Mikail Randu Rayyana

Profesi sopir, terutama kendaraan besar seperti bus dan truk, acapkali dipandang sebelah mata, bahkan ada pula yang menganggap sopir sebagai profesi yang negatif. Anggapan-anggapan ini muncul bukan tanpa dasar, karena tuntunan pekerjaan, sopir-sopir terkadang lebih sering menghabiskan waktunya di jalan ketimbang di rumah, bahkan ada pula yang tidak pulang dalam hitungan bulan. Karena, jauh dari keluarga, para sopir yang mayoritas berasal dari kaum adam ini jarang menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah, terutama dengan istrinya jika sudah berkeluarga. Tentunya, bagi laki-laki hal ini cukup mengganggu, pasalnya laki-laki selain memberikan nafkah materi juga harus memberikan nafkah batin pada pasangannya yang menyebabkan mereka sering memberikan nafkah batin pada tempat yang salah. Dari sini lah muncul istilah seperti “sopir adalah singkatan dari ngaso mampir, ketika istirahat pasti mampir”, mampir di sini adalah konotasi dari mengunjungi tempat prostitusi, fenomena inilah yang juga menyebabkan menjamurnya tempat-tempat prostitusi kelas teri di jalan lintas provinsi di Indonesia, salah satunya di jalur Pantura pulau Jawa.

Fenomena dan stigma di atas cukup marak terjadi di bawah tahun 2000an, tahun 80 hingga 90an merupakan masa kejayaan bus antar kota antar provinsi di Indonesia. Kala itu, penghasilan seorang pengemudi bus dalam sebulan dapat mengalahkan Pegawai Negeri Sipil. Pengemudi bus di masa itu juga selalu dituntut berpenampilan rapi dan necis, tentunya hal ini ditujukan agar dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada penumpang. Namun, di sisi lain, hal ini juga terkadang mendatangkan hal yang kurang baik, seringkali penumpang wanita menjadi tertarik kepada pengemudi, yang awalnya hanya sebatas penumpang, lama-lama menjadi langganan dan berujung pada kisah cinta satu malam di atas roda. Selain penumpang, wanita yang berada dalam lingkungan bus pun juga turut serta, seperti agen tiket, penjaja makanan atau pemilik warung langganan para sopir di terminal, hingga pelayan rumah makan di tempat istirahat. Maka dari itu pula, banyak penginapan mulai dari kelas hotel melati hingga bintang 3 yang tumbuh subur di sekitar terminal pada masa itu.

Dari permasalahan ini pula muncul lagi istilah lainnya, yakni siter, siteran, atau nyiter yang berarti wanita simpanan atau aktivitas mengunjungi wanita simpanan. Kata siter sendiri diambil dari nama alat musik khas Jawa Tengah yang dimainkan dengan cara dipetik, entah apa dan bagaimana sebabnya kata siter malah menjadi istilah untuk wanita simpanan di kalangan pengemudi bus, kemungkinan nama itu menjadi istilah tersebut karena dahulu juga banyak pengamen wanita yang memainkan siter di terminal untuk mencari pundi-pundi rupiah, lalu kemudian, pengamen siter yang sekiranya berparas cantik merajut tali asmara dengan sopir-sopir di terminal atau malah menjadi wanita simpanannya. Mungkin itulah mengapa siter atau nyiter menjadi istilah yang berarti wanita simpanan atau aktivitas mengunjungi wanita simpanan di kalangan para sopir.

Fenomena nyiter tidak hanya terjadi di ranah bus umum saja, tetapi juga sering berlaku di kalangan pengemudi atau kru bus pariwisata. Biasanya, fenomena siter menyiter di bus pariwisata terjadi ketika bus membawa rombongan yang berisi wanita muda, seperti rombongan mahasiswa atau siswa Sekolah Menengah Atas, selain itu juga ketika pemandu wisata yang memandu rombongan merupakan seorang wanita muda. Apalagi, di zaman sekarang cukup banyak anak muda yang menjadi kru bus pariwisata, entah menjadi pengemudi atau asisten pengemudi, biasanya mereka awalnya adalah anak-anak remaja penggemar bus yang kemudian mencoba peruntungan dengan mengadu nasib di balik kemudi atau di atas roda setelah lulus sekolah. Usia belia didukung dengan jiwa muda yang menggebu-gebu, membuat mereka mudah tergoda dengan wanita, apalagi jika punya paras yang lumayan lalu memiliki kemampuan merangkai kata-kata romantis untuk menggoda lawan jenis, dijamin ada satu wanita di dalam rombongan yang jatuh ke pelukannya. Dari situlah mulai terjalin kisah cinta yang berputar di atas roda lalu berakhir ketika kegiatan berwisata sudah usai.

Dari fenomena tersebut, tak jarang terjadi adegan labrak-melabrak seperti di sinetron, entah itu di terminal, tempat istirahat, garasi, bahkan di kantor pusat maupun kantor perwakilan. Mereka yang melabrak biasanya adalah pria yang pasangannya kedapatan merajut asmara dengan sopir atau istri dari sang sopir yang mengetahui suaminya bermesraan dengan wanita lain. Beberapa perusahaan pun ada pula yang dengan tegas memberikan sanksi jika para sopir tertangkap basah sedang melakukan hal demikian atau ketika ada laporan yang masuk ke kantor, mulai dari surat peringatan, skorsing, hingga pemecatan. Tak jarang pula siter menyiter juga membawa malapetaka atau musibah, entah ini hanya kebetulan atau memang hukum alam tengah berlaku, ketika si wanita sedang ikut di dalam armada, biasanya perjalanan tidak akan lancar, entah itu bus mengalami mogok atau kerusakan di jalan, hingga mengalami kecelakaan.

Selain siter menyiter dan ngaso mampir, sopir juga sering dilabeli kalimat “mangan koyok ratu, turu koyok asu” yang berarti “makan seperti ratu, tidur seperti anjing”. Hal ini disebabkan, jika sopir sedang makan di rumah makan langganan, bisa dengan porsi besar dan dengan makanan yang lezat pula, namun ketika sampai di tujuan dan hendak tidur, mereka tidur di mana saja, bahkan di tempat yang jauh dari kata nyaman. Seperti sopir truk ketika makan di tempat langganan bisa membeli makan dengan menu yang lezat, namun jika sudah tiba di lokasi bongkar atau muat, mereka tidur di tempat yang jauh dari kata nyaman, seperti di kolong truk, di bak truk, di atas kabin truk, bahkan di emperan gudang. Begitu juga dengan sopir bus, ketika mereka makan di rumah makan yang sudah bekerja sama dengan perusahaan, mereka bebas mengambil menu makanan dan minuman dengan bebas, menu yang disediakan untuk mereka pun juga selalu fresh dan hangat atau baru dimasak. Jika menu habis, mereka tinggal meminta pelayan rumah makan untuk membuatkannya lagi, tak ketinggalan rokok dan kopi pun diberikan pihak rumah makan secara cuma-cuma dan bebas tambah. Namun, ketika sudah tiba di tempat tujuan akhir seperti terminal, mereka juga tidur di tempat yang jauh dari kata layak, seperti di bagasi bus, di kursi pengemudi, di kursi penumpang, di lorong antara kursi penumpang, bahkan di peron terminal.

Di balik fenomena di atas, profesi sopir bus atau truk masih tetap diminati hingga kini. Apalagi, di zaman media sosial seperti sekarang banyak sopir bus atau truk yang menyambi jadi konten kreator di media sosial, seperti di platform YouTube dan TikTok, ditambah lagi fenomena klakson telolet atau basuri sekarang kembali marak. Jika seorang sopir rajin memodifikasi armadanya seperti memasang klakson telolet dan menambahkan lampu warna-warni, lalu juga rajin membuat konten di media sosial, dapat dipastikan sopir dan armadanya akan cepat naik daun dan mendapatkan penggemar. Tentunya, hal ini juga dapat menginspirasi anak-anak kecil hingga remaja untuk mengikuti jejak mereka, kini banyak anak kecil hingga remaja yang mengidolakan sopir bus atau truk, bahkan ada yang ingin bercita-cita menjadi sopir bus atau truk.

Penulis: Mikail Randu Rayyana