Surabaya, 13 Oktober 2024

Aktivitas di kota berjuluk “Kota Pahlawan” nampak sepi dan hening, kesibukan masyarakat yang biasanya keluar masuk kantor serta tempat bekerja belum terlihat sama sekali pada dini hari kala itu. Wajar, sebab jarum jam masih menunjukkan pukul 02:00 WIB. Namun, nampak segelintir orang sedang melakukan aktivitas meditasi, duduk-duduk, dan berdiskusi di salah satu tempat yang dari kejauhan memang sudah memikat batin serta jiwa melalui energi ketenangan yang dipancarkannya. “Arca Joko Dolog”, seperti itulah masyarakat Surabaya menyebut tempat ini. Sebuah situs cagar budaya yang berada di belakang Taman Apsari, Jl. Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, Jawa Timur ini menyimpan banyak nilai kebudayaan dan sejarah, yang berguna sebagai media untuk merefleksikan kembali betapa hebat dan agungnya peradaban leluhur bangsa kita, dalam membangun kehidupan serta moralitas, sebagai manusia Nusantara yang cinta akan kearifan sebuah kebijaksanaan filosofi hidup.

Berada di jantung pusat perkotaaan Surabaya, arca dengan panjang 166 cm, lebar 138 cm, dan tebal 105 cm ini memperlihatkan raut wajah yang teduh, lengan kirinya berada di atas pangkuannya, lengan kanannya menelungkup di atas lututnya, dan posisi tubuhnya sedang duduk bersila dengan sikap Bumiparsha Mudra sebagai simbol bahwa, ketika Buddha telah tercerahkan maka ia akan menyentuh bumi sebagai elemen yang terhubung dengan tanah melalui mudra ini selama meditasinya. Dengan sikap mudra tersebut, ia seolah memanggil bumi dan menjadikan bumi sebagai saksi atas kebangkitannya. Harum semerbak wewangian dari dupa cendana yang dihaturkan orang-orang ketika berkunjung ke tempat ini menambah kesan sucinya perwujudan Sang Prabu Kertanegara, sosok raja yang bertahta di Kerajaan Singosari tersebut. Pada batur alas sandaran arca, terdapat rangkaian prasasti yang ditulis dalam bahasa Sansekerta, tetapi telah mengarah ke bahasa Jawa kuno “Kawi”, dan bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289 Masehi. Rangkaian tulisan-tulisan pada prasasti yang terletak di alas lapik Arca Buddha dengan ditulis bidang melingkar pada bagian bawahnya tersebut, berisi tentang penobatan Arca Budha Mahasobhya sebagai penghormatan dan perlambangan bagi Prabu Kertanegara yang bergelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanagara Wikrama Dharmatunggadewa dari kerajaan Singhasari, yang berdasarkan keturunannya telah mencapai tingkatan derajat Jina atau Jina Mahasobya (Buddha Agung). Raja Kertanegara dinobatkan menjadi raja dan mulai memerintah pada tahun 1176 saka (1254 Masehi), dikutip dari Kitab Nagarakertagama pupuh 41 bait 3. Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Wurare tersebut, berisikan 19 bait yang mengandung lima nilai makna sejarah yang berkembang pada masa itu, yakni mengenai perebutan kekuasaan terhadap pembagian tanah Jawa yang mana pada akhirnya, keduanya dapat disatukan kembali oleh Raja Wisnuwardhana. Lima nilai dalam isi prasasti tersebut adalah:

  1. Pada suatu ketika ada seorang pendeta benama Arrya Bharad, ia ditugaskan untuk membagi pulau Jawa menjadi dua bagian, kedua bagian tersebut masing-masing diberi nama Jenggala dan Panjalu. Pembagian kekuasaan ini dilakukan karena adanya perebutan kekuasaan diantara putra mahkota kerajaan.
  2. Pada masa pemerintahan raja Jaya Sri Wisnuwardhana dan permaisurinya Sri Jaya Warddhani, kedua daerah yang awalanya dibagi menjadi dua itu, akhirnya dapat dipersatukan kembali.
  3. Pentahbisan raja Kertanegara sebagai Jina dengan gelar Sri Jnanjaciwabajra. Perwujudan sebagai Jina Mahasobya, didirikan di Wurare pada 1211 Saka.
  4. Raja Kertanegara dalam kurun waktu yang cepat akhirnya berhasil kembali menyatukan daerah yang telah terpecah, sehingga kehidupan di masa kepemimpinan kala itu menjadi sejahtera.
  5. Disebutkan juga bahwa prasasti tersebut dibuat oleh seseorang bernama Nada, ia adalah sebagai abdi raja pada masa itu.

Arca yang memiliki nilai bersejarah tersebut telah mengalami renovasi selama dua kali. Menurut sumber primer maupun sekunder sejarah disebutkan bahwa, sebelumnya posisi ditemukannya Arca Joko Dolog bersila di tanah tanpa alas. Pada tahun 1957 Arca Joko Dolog diberi “alas duduk” berupa batu. Pemugaran areal pertapaan Jogo Dolog dimulai sejak tahun 1998, dengan pembangunan joglo atau atap untuk melindungi keberadaan Joko Dolog. Kini Arca Joko Dolog menjadi pertapaan, tempat wisata bersejara, dan salah satu destinasi tujuan bagi orang-orang yang sedang melakukan perjalanan spiritual. Tak sedikit pula, dijumpa banyak orang juga sering melakukan sembahyang, menghaturkan doa-doa, maupun sesembahan sebagai bentuk ungkapan “Sowan” ketika menghadap ke perwujudan Raja Kertanegara tersebut. Meski kini ketenangan dan keheningan area situs cagar budaya tersebut mulai diinjak-injak martabatnya dan terganggu akan kehadiran tempat hiburan malam disekitarnya. Sebab, tempat-tempat hiburan yang ada di sekitar area situs budaya Arca Joko Dolog tersebut acapkali memutar musik yang sangat keras. Sebagian dari mereka yang sering berkunjung ke Arca Joko Dolog mungkin sudah terbiasa, bahkan memaklumi, namun bagi mereka yang tidak terbiasa pasti merasa kenyamanannya terganggu. Terutama ketika mengunjungi situs ini pada pukul 02:00 WIB kala itu, dentuman kencang musik yang diputar salah satu café yang berada di seberang situs budaya Arca Joko Dolog masih terdengar. Bagaimanapun juga, diantara segala kesibukan duniawi yang terjadi di pusat kota Surabaya, dengan segala kebisingan yang memecah heningnya sebuah tempat penuh makna, sejarah, dan warisan leluhur bangsa yang kaya akan nilai filosofi tinggi makna kehidupan tersebut. Situs warisan budaya Arca Joko Dolog sampai kapanpun akan tetap berdiri megah, mewangi dengan aroma dupa yang senantiasa dihaturkan oleh mereka yang menyadari akan energi ketenangan dalam jiwanya, dan sampai kapanpun akan selalu menjadi “Rumah” bagi mereka yang selalu sadar serta mengingat akan “Jati Diri”-nya sebagai manusia Nusantara yang Berbudi Waskita Bhawana.

Hendratno –